• Elins 2011

    Di sela acara jalan sehat 2012, baju biru kami menghiasi pagi itu

  • Elins 2010

    1 tahun yang lalu, saat acara jalan sehat 2011. KGS (pojok kiri atas) masih menemani kita sebelum kepergiannya

  • Einsten-Community

    Di sela acara jalan sehat 2012, kami dari Einsten-Community berkumpul bersama

  • Einsten-Community

    Di tempat ini kami mempererat tali persaudaraan, Candi Ratu Boko 2013

  • Elins 2012

    Kegiatan makrab yang berguna untuk lebih mengakrabkan kami

  • Elins 2013

    Foto bersama dalam acara makrab yang pertama kali kami ikuti di STTN - BATAN

  • Einsten Community

    Dalam satu tenda kami berbaur dengan semua angkatan

  • Einsten Community

    Dengan basket di Einsten Competition, kami lebih mengakrabkan diri

  • Einsten Community

    Futsal yang membuat kami lebih kompak

  • Einsten Community

    Inilah para pejuang basket perempuan Einsten.com

  • Einsten Community

    Futsal juga menjadi ketertarikan kaum hawa Einsten.com

Sebuah Langkah Maju atau Biang Kehancuran Negeri?

Ujian Nasional
(Sebuah Langkah Maju atau Biang Kehancuran Negeri?)
Ujian Nasional (UN) adalah momok dalam perhelatan akbar dunia pendidikan yang juga menjadi penentu masa depan seorang siswa dalam riwayat pendidikannya. Pengujian semua materi yang telah di ajarkan selama tiga sampai enam tahun akan dilaksanakan dalam empat hari, dan tolak ukur keberhasilan pengajaran dari para guru dan proses belajar yang telah dilakukan para siswa akan ditentukan dalam empat hari ini. Jika para siswa mampu untuk menjawab soal dengan benar di atas standard minimal kelulusan, maka ia berhak untuk melebarkan sayapnya meraih masa depan yang lebih cerah. Namun bagaimana dengan yang gagal dalam UN ini? Ya, sebuah pertanyaan mendasar yang sering kali dikeluhkan baik dari para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat umum.
Hal-hal mendasar dalam mekanisme UN ini acap kali terjadi perubahan setiap tahunnya. Konsistensi pengukuruan secara standar nasional masih harus dibenahi dalam persiapan pengadaan UN ini. Lantas masih perlukah UN dilaksanakan? Demi menjawab pertanyaan seperti ini, banyak hal yang harus diperhatikan untuk mempertahankan alasan mengenai kelanjutan UN di Indonesia. Ada tiga hal pokok yang menjadi dasar dalam menyikapi kelangsungan UN, yakni penentuan standard kelulusan, kecurangan-kecurangan yang terjadi, dan dampak buruk yang menimpa para siswa baik sebelum maupun setelah UN dilaksanakan.
Yang pertama, penentuan standad kelulusan. Kita menyadari bahwa mekanisme dalam penentuan standard sebagai syarat kelulusan belum sepenuhnya merata. Masih banyak anak di pelosok negeri ini yang belum terjamah oleh kemajuan teknologi, yang dalam hal ini sangat jauh berbeda dengan anak-anak di kota besar.
Dale E. Margheim (2001) juga menunjukkan satu bentuk ketidakadilan lain yang disebabkan oleh ujian yang distandardkan. McDonnell, McLaughlin, and Morison (1997), yang ia kutip dalam bagian disertasinya, menyebutkan bahwa sebagian besar ujian yang dikategorikan beresiko tinggi (high-stake test), termasuk di dalamnya ujian yang distandardkan, didasarkan pada premis bahwa semua siswa mampu mencapai standard akademik tinggi meskipun premis tersebut sama sekali tidak didasarkan pada hasil riset. Dengan kata lain semua siswa diperlakukan seolah-olah sama. Faktanya,
mereka sangat beragam dalam kemampuan intelektual, daya serap, muatan akademis, latar belakang ekonomi, kondisi keluarga, dan lain sebagainya. Belum lagi keberagaman fasilitas sekolah tempat mereka belajar, akses terhadap teknologi dan informasi, maupun kemampuan metodologis guru-guru mereka. Siswa yang bersekolah di kota tentu mempunyai kesempatan lebih besar untuk mendapatkan sumber-sumber belajar yang layak. Siswa dengan latar belakang ekonomi kuat mempunyai kesempatan untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah dengan fasilitas belajar yang baik, dan oleh karena itu memiliki peluang lebih besar untuk berprestasi. Lain halnya dengan sekolah-sekolah di pinggiran, pedesaan, apalagi daerah pedalaman. Sebuah penelitian lain di Amerika Serikat yang secara langsung berkaitan dengan hasil studi McDonnell, McLaughlin, and Morison (1997) di atas dilakukan oleh Lomax, Richard G, West, Mary Maxwell, Harmon, Maryellen C, Viator, Katherine A, Madaus, George F. (1995), yang menyebutkan bahwa ujian yang distandardkan merugikan dan mengabaikan siswa minoritas yang mempunyai keterbatasan ekonomi dan akses terhadap pendidikan sebab ujian yang distandardkan selalu merefleksikan kultur mayoritas. Akibatnya, hasil ujian mereka tidak bisa dianggap sebagai representasi yang adil dan memadai dari apa yang sungguh-sungguh mereka ketahui dan mampu lakukan.
Yang kedua, potensi kecurangan dalam pelaksanaan UN. Tidak jarang kecurangan dalam UN terjadi di negeri ini. Hal ini disebabkan oleh pelaksaan UN hanya berorientasi pada hasil, bukan pada proses. Hal ini menyebabkan yang menjadi fokus utama adalah hasil, bukan pada proses pencapaian hasil tersebut. Disaat hasil lebih di prioritaskan daripada proses, segala cara akan dilakukan. Kasus kecurangan yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh oknum sekolah dan siswa, bahkan sampai kepada penyelenggara UN yang dalam hal ini merupakan pihak kepemerintahan. Seperti dalam pengadaan perlengkapan ujian yang tidak disediakan secara memadai. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Pada prakteknya, penyelenggara ujian tidak memiliki persiapan peralatan penunjang yang baik. Kecurangan ini tentu lebih mengarah kepada pihak pelaksana UN. Selanjutnya dari pihak sekolah. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UN untuk memastikan tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada
guru dengan sistem silang, dimana pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Tapi, pada kenyataannya, terjadi kerja sama antarguru untuk memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek. Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika, bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa. Dan kecurangan terakhir adalah yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Karena terbebani oleh nilai yang harus dicapai, mereka merasa bahwa kemampuan mereka sendiri tidak akan mampu untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Dan pada akhirnya keadaan menuntut mereka untuk melakukan kecurangan baik dengan teman di ruangan UN yang sama ataupun dengan yang berbeda ruangan, dan juga tidak menutup kemungkinan dengan siswa dari sekolah yang berbeda.
Yang ketiga, dampak psikologis yang akan ditanggung oleh para siswa karena UN. Akibat penyelenggaraan pendidikan yang banalkan oleh UN, siswa tidak lagi menjadi pembelajar. Ia tidak melakukan proses pencarian diri karena dipaksa memperolah nilai cukup saat ujian nasional. Tekanan untuk memperoleh nilai yang cukup menempatkan siswa tidak ubahanya pekerja yang dibebani serangkaian target. Karena itulah, ketika target tidak tercapai siswa merasakan kekecewaan luar biasa. Siswa bepotensi shock, stres, gila, bahkan kematian karena UN telah telanjur dimaknai sebagai ajang pertaruhan harga diri. Tragis memang dampak yang akan ditimbulkan oleh UN ini. Awalnya karena pikiran mereka selalu diorientasikan kepada nilai, nilai, dan nilai akan membuat mereka menjadi stress. Pengaruh psikis yang mereka alami akan menekan mereka menjelang UN. Kemudian pada saat pengumuman kelulusan. Saat amplop kelulusan bertuliskan “TIDAK LULUS”, maka para siswa otomatis akan shock dan karena mereka selalu memikirkan hal tersebut, maka saraf mereka bekerja dengan tidak normal yang menyebabkan mereka kehilangan akal. Tidak cukup hanya sampai disitu, tidak banyak siswa yang mengakhiri hidupnya karena tidak lulus dalam UN. Dengan berbagai alasan, salah satunya karena malu kepada keluarga, teman dan orang-orang disekitarnya.
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, masihkah perlu UN dilaksanakan? Kemudian jika disodorkan lagi dengan pertanyaan, Apakah UN dirancang sebagai kemajuan, atau bahkan awal dari kehancuran negeri? Menurut persepsi dan analisa berdasarkan yang telah dijabarkan di atas mengenai kerugian UN, tentunya UN ini akan menjadi awal dari kehancuran negeri. UN dapat memicu munculnya bibit-bibit ketidakjujuran dan koruptor. Berbagai kecurangan yang sejak dini diajarkan tentunya akan memberikan dampak bagi kelangsungan dan kemajuan negeri ini kedepannya.
Referensi:
http://wdnoegroho.wordpress.com/2010/02/18/dampak-ujian-nasional-terhadap-siswa-guru-dan-sekolah/
http://arief-161.blogspot.com/2010/02/dampak-ujian-nasional.html
http://www.radarlampung.co.id/read/opini/47423-un-dan-sebagian-dampaknya
http://nasional.kompas.com/read/2011/06/08/19193829/Kecurangan.Ujian.Nasional.Sudah.Gawat
http://edukasi.kompas.com/read/2011/04/25/19171563/Dibeberkan.Parahnya.Kecurangan.UN.SMA.
http://hidayatulula.blogspot.com/2011/05/dampak-psikologis-ujian-nasional.html
http://muaraputrasinaga.blogspot.com/2009/06/efek-psikologis-un-bagi-siswa.html
http://orangindonesia.net/2010/04/kekerasan-psikologis-un/
http://guruvalah.20m.com/kontoversi_ujian_nasional.html
http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/27/masih-perlukah-sistem-ujian-nasional-dipertahankan/
.



Thanks to Zumaro

0 komentar: